17.55

Alat bantu berpikir ilmiah




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kani sehingga Makalah yang berjudul “Alat Bantu Dalam Ilmu Pengetahuan” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
Tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk melengkapi tugas terstruktur dari mata kuliah Dasar-dasar Sains. Makalah ini memberikan gambaran tentang alat bantu dalam ilmu pengetahuan Dalam penyelesaian makalah ini, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Drs., Parno, M.Si., selaku dosen mata kuliah Dasar-dasar Sains sekaligus sebagai dosen PA.
2.      Kedua orang tua kami yang selalu member dukungan kepada penulis.
3.      Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran kritik dari pembaca sangat diharapkan. Atas saran dan kritikannya, penulis ucapkan terima kasih.


                                                                                                          Penulis,

Malang, 5 November 2013





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...…………………………………………………….….….1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...…..…...2
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………….…….....3
1.1  Latar Belakang ………………………………………………….…......3
1.2  Rumusan Masalah ………………………………………………….… 3
1.3  Tujuan ……………………………………………………………..…. 3
BAB II : PEMBAHASAN …………………………………………………….……4
2.1          Matematika……………………………………………………….…4
1.             Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif…………….….4
2.             Perkembangan Matematika…………………………………....4
3.             Matematika Dan Peradaban……………………………………6
2.2          Statistika……………………………………………..………………7
1.      Sejarah Perkembangan Statistik ………………………..…...……7
2.      Stitistika Sebagai Sarana Berfikir Induktif………………..………7
2.3          Bahasa……………………………………………………….………9
1.      Ciri – Ciri Bahasa Ilmiah…………………………………..……...9
2.      Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Induktif………………………..10
3.      Unsure – unsure Bahasa……………………………………...….10
BAB III : PENUTUP
3.1  Kesimpulan………………………………………………………….…..12
3.2  Saran  …………………………………..………………………….…....13
DAFTAR PUSTAKA …………………………..………………..………………...14



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berpikir merupakan sebuah proses yang menghasilkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan-jalan  pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang  berupa bahasa, matematika, statistika agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan dengan baik ,teratur dan cermat. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan symbol atau perlambang.

Sedangkan matematika sendiri memiliki lambang-lambang matematika bersifat “Artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna yang diberikan kepadanya . Kelebihan Matematika dibandingkan dengan bahasa verbal adalah sifat kuantitatif matematika. Matematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Secara deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Matematika lebih mementingkan logisnya.Pertanyaan-pertanyaan mempunyai sifat yang jelas.

Sedangkan statistik pengujian mengharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata anak yang dimaksud itu merupakan suatu kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif .

1.2  Rumusan masalah

1.      Alat-alat apa saja yang digunakan untuk berpikir ilmiah?
2.      Bagaimana peranan matematika sebagai sarana berfikir deduktif dalam ilmiah?
3.      Bagaimana peranan statistika dan bahasa sebagai sarana berfikir induktif dalam ilmiah?

1.3  Tujuan

1.      Mengetahui alat-alat yang digunakan untuk berpikir secara ilmiah.
2.      Mengetahui peranan matematika sebagai sarana berfikir deduktif.
3.      Mengetahui peranan statistika dan bahasa dan berpikir induktif dalam ilmiah.





BAB II
PEMBAHASAN

           Alat-alat bantu  dalam ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga yaitu matematika, statistika dan bahasa.
2.1  Matematika
           matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Yang merupakan perjanjian khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. 
1.      Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif
Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang keberadaannya telah ditentukan. Secara deduktif matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Dan dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan pengetahuan lainnya yang memperkaya perbenaharaan ilmiah kita.
contoh:
Premis 1: Jika ada 2 garis sejajar, maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar  dengan garis yang ketiga adalah sama.
Premis 2: Jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat
Jadi bila diterapkan dalam berpikir deduktif adalah untuk mengukur jumlah sudut-sudut dalam segitiga.

2.      Perkembangan Matematika
              Ilmu merupakan ilmu pengetahuan yang berdasarkan analisis menarik kesimpulan berdasarkan pola berpikir tertentu. Atau dengan kata lain, ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui logika tertentu. Berasarkan perkembangan maka masalah yang dihadapi oleh logika makin lama makin rumit dan membutuhkan bentuk yang makin sempurna. Dalam perspektif ini maka logika berkembang menjadi matematika, seperti dikatakan Bertrand Russell, “matematika adalah masa dewasa dari logika, sedangkan logika adalah masa kecil dari matematika.
Ditinjau dari perkembanganya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif. Taham pertama ini ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Tahap yang kedua kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan kategori dan seterusnya. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga membutuhkan matematika.
      Matematika adalah metode berpikir logis. (menurut Wittgenstein). pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. dan pada dasarnya adalah pernyataan logika. (menurut Bertrand Russell dan Whitehead). Menurut akal sehat kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif. Di samping sarana berpikir deduktif  yang merupakan aspek esterik. Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik. Menurut Griffits dan Howson sejarah perkembangan matematika dibagi menjadi 4tahap. Yaitu :
  1. Tahap pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban mesir kuno dan daerah sekitarnya seperti Babilonia dan Mesopotamia. Keahlian mereka yang dihargai didalam masyarakat dengan mengaitkan aspek praktis matematika dengan aspek mistik dari keagamaan.
  2. Tahap kedua  peradaban Yunani yang meletakan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapjan berbagai langkah dan definisi terentu.Euclid pada 300SM, semua pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Element dengan penyajian secara sistematis.
  3. Tahap ketiga pada saat perdagangan antara Timur dia Barat berkembang pada Abad pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah dipergunakan dalam transaksi pertukaran.
  4. Tahap keempat pada zaman Renaissance, yang meletakan dasar bagi kemajuan matematika modern selanjutnya. Dan ditemukanlah diantaranya kalkulus diferensial yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke-17 dan revolusi industri di abad ke-18.
Jadi matematika bukankah merupakan pengetahuan mengenai objek tertentu melainkan cara berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Dan kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat.
              Memang pada kehidupan sehari-hari, kebenaran, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan melalui proses penalaran deduktif. Disamping matematika sebagai sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik. Matematika juga memberi kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling ke matematika. Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik dan praktis dari matematika ini silih berganti mendapat perhatian, terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan.

3.      Matematika Dan Peradaban
Matematika sama tuanaya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir kuno telah memounyai simbolyang melembangkan angka-angka. Para pendeta Mesir kuno, ahli matematika yang pertama di dunia , mengukur pasang surut sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir. Sejak semula pengetahuan yang bersifat kuantitatif ini bersifat esoteric, dengan sengaja pendeta  Mesir kuno menyembunyikan kepandaian ini kepada masyarakat kebanyakan untuk mempertahankan kekuasaan masyarakat kebanyakan untuk meramal (secara ilmiah ) timbulnya banjir merupakan kekuatan yang bersifat supranatural bagi orang awam. Rider Haggard dalam bukunya King’s Solomos Mines menceritakan salah satu tema pokok tentang ramalan akan timbulnya gerhana yang bagi suku  primietif di Afrika waktu itu merupakan peristiwa gaib.
Matematika merupakan bahasa artificial yang dikembangakan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Tentu saja untuk menguasai bahasa artificial ini perlukan usaha dalam bentuk kegiatan belejar. Jurang antara mereka yang belajar dan yang tidak (atau enggan) belajar makin lama makin lebar. Matematika makin bersifat esoteric yang jauh dari jangkauan orang awam, magis dan misteriusseperti mantera dan jampi-jampi.
Matematika tidak dapat dilepaskan  dari peradapan manusia. Pendudukan kota yang pertama adalah “makhluk yang berbicara”  (talking animal) yang hidup pada jaringan angka-angka : takaran resep makanan , jadwal kereta api, angka pengangguran, tilang, pajak, rampasan perang, uang lembur , taruhan, curah hujan, cerah matahari, speedometer, indicator bakteri ,meteran gas, suku nbunga bank, ongkos angkutan kapal, tingkat kematian, potongan lotre, panjang gelombang dan tekanan ban. Bagi nilmu itu sendiri matematika berkembang sangat cepat. Tanpa matematika pengetahuan akan berhenti oada tahan kuantitatif yang tidak memungkinkan untuk  meningkatkan penalaran lebih jauh. Sifatnya bagi bidang-bidang keilmuan yang modern, matematika adalah sesuatu yang imperative : suatu sarana untuk meningkatakan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan,apapun juga bidang pengkajianya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif.
Orang dewasa senang sekali dengan angka-angka. Bila kita punya teman baru mereka tidak pernah bertanya tentang bagaimana bunyi suranya? Permaina  apa yang disenangi? Apakah dia mengumpulkan barabg-barang atau suatu tertentu? Sebaliknya mereka akan bertanya berapa usiamu sekarang? Berapa jumlah saudaramu? Berapa penghasilan orang tuamu? . Matematika tanpa disadari memang bukan tujuan dan bukan alat itu sendiri, sebagai pengamatan seorang anak-anak ini.diman biasnaya hal ini disebabkan ketidak tahuanya tentang hakikat matematika. Ilmu menjadi kumpulan-kumpulan angka yang tidak berarti. Namun dipihak lain ketidak tauan tentang hakikat manusia itu sering mengakibatkan suatu bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif. Dimana tanpa mengurangi rasa penghargaan kita kepadapnya,l tetap merupakan bidang keilmuan yang belum tumbuh sempurna.lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif inilah,meminjam perkataan pangeran kecil. Ilmu sampai pada pengetahuan yang dewasa. Analog dengan pernyataan Betrand Russell tentang hubungan antara logika dengan metematika mungkin dapat berkata : “ilmu kualitatif adalah massa kecil cdari ilmu kuantitatif merupakan massa dewasa dari ilmu kualitatif”, dimana ilmu yang sehat seperti kita akan terus tumbuh dewasa.

2.2  Statistika

               Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Atau statistika adalah ilmu yang berusaha untuk mencoba mengolah data untuk mendapatkan manfaat berupa keputusan dalam kehidupan.

1        Sejarah Perkembangan Statistik
Konsep statiska sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu dan salah satunya adalah Thomas Simpson yang menyimpulkan terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variable dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson lebih lanjut dan menemukan distribusi normal sebuah konsep mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata (the standard error of the mean) dikembangkan Karl Friedrich Gauss (1777-1855). Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan konsep regesi, korelasi, distribusi, chi-kuadrat, dan analisis statiska untuk data kualitatif Pearson menulis buku The Grammar of Science sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. William Searly Gosset, yang terkenal dengan nama samaran “Student”, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Di Indonesia, kegiatan dalam hal penelitian juga cukup meningkat, baik kegiatan akademik maupun maupun pengambilan keputusan telah memberikan momentum yang baik untuk pendidikan statistika. Dengan masyarakatnya berpikir secara ilmiah, maka sesuai dengan apa yang dikatakan oleh HLM. G. Welles bahwa setiap hari berpikir statistik akan merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan menulis.

2        Stitistika Sebagai Sarana Berfikir Induktif

            peluang (probabilitas), merupakan dasar teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Teori dalam mengenai kombinasi bilangan telah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan oleh ilmuan muslim, tetapi bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan dengan cepat bidang telaah ini berkembang.

         Statistika yang relatif sangat muda bila dibandingkan dengan matematika, mengalami kemajuan sangat pesat, terutama dalam lima dasawarsa belakangan ini. Penelitian ilmiah baik yang berbentuk survay maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti dengan mempergunakan teknik statistika yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.

Pengujian secara empiris merupakan mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainya. Kalau telah lebih mendalam,maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Kalau hipoteis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentanga dengan kenyataan , maka hipotesis tersebut ditolak.

Penggujian diharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di  pihak lain penyusuan  hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat individual dari pernyataan yang bersifat individual dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan logika deduktif. Kedua penarikan kesimpulan ini tidak sama dan tidak boleh dicampurkan. Logika deduktif berpaling  kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulannya, sedangakan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika mencampurkan pengetahuan untuk penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.









2.3  Bahasa
Ada beberapa pengertian bahasa seperti yang diutarakan oleh:
a.       Ernest Cassirer,  (Jujun dan Amsal Bachtiar), bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol. Secara generik istilah ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo sapiens, sebab dalam kegiatan berfikir manusia mempergunakan symbol
b.      Wittgenstein yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku yaitu dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia baginya
c.       Bloch and Trager mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa “a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates” (bahasa adalah suatu system simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi)
d.      Joseph Broam mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa a language is a structured system of arbitrary vocal symbols by means of which members of social group interact (Bahasa adalah suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain).

Sedangkan dalam KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia), diterakan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jadi bahasa menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.

Dari kutipan pengertian di atas dapat disimpulkan Bahasa adalah suatu sistem dari simbul atau lambang bunyi arbitrer (bermakna) yang dihasilkan oleh alat ucap/ ujaran  manusia dan dipakai oleh masyarakat dan atau oleh para anggota suatu kelompok social untuk melakukan komunikasi yaitu menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi kepada orang lain/ alat bergaul satu sama lain, melakukan kerja sama dan untuk identifikasi diri.

1.      Ciri – Ciri Bahasa Ilmiah
Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan antiseptic.
a.       Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
b.      Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
c.       Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.


2.      Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Induktif
       Sifat Ilmu yang bersifat intersubyektif menimbulkan harapan akan adanya istilah yang dirumuskan sejelas mungkin, yang dapat diterima secara umum dengan saling mengetahui apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Dugaan-dugaan yang dipunyai oleh A hendaknya dapat dikaji oleh B. Dan hasil kajian tersebut, hendaknya dapat dievaluasi baik oleh C maupun oleh A dan B. Cara yang paling tepat untuk menetapkan pemakaian suatu istilah ialah dengan menggunakan definisi eksplisit. Dalam definisi seperti ini ditetapkan suatu istilah atau suatu gabungan istilah dipakai dalam makna tertentu.

Dalam filsafat keilmuan, memikirkan sesuatu membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmiah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Sedangkan untuk Karya ilmiah: tata bahasa, merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.

3.         Unsur Bahasa
Batasan-batasan pengertian di atas memerlukan sedikit penjelasan agar tidak terjadi salah paham. Oleh karena itu, perlu diteliti setiap unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu:
a.       Simbol-simbol
Simbol-simbol berarti things stand for other things atau sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain. Hubungan antara simbol dan “sesuatu” yang dilambangkannya itu tidak merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau sesuatu yang bersifat alamiah, mengandung makna bahwa ucapan si pembicara dihubungkan secara simbolis dengan objek-objek ataupun kejadian dalam dunia praktis.
b.      Simbol-simbol Vokal
Simbol-simbol yang membangun ujaran manusia yaitu bunyi-bunyi yang urutan-urutan bunyinya dihasilkan dari kerja sama berbagai organ atau alat tubuh dengan system pernapasan. Untuk memenuhi maksudnya, bunyi-bunyi tersebut haruslah didengar oleh orang lain dan harus diartikulasikan sedemikian rupa untuk memudahkan si pendengar untuk merasakannya secara jelas dan berbeda dari lainnya.
c.       Simbol-simbol  vokal arbitrer
Istilah arbitrer di sini bermakna “mana suka” dan tidak perlu ada hubungan yang valid secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa. Misalnya, untuk mengatakan jenis binatang yang disebut Equus Caballus, orang Inggris menyebutnya horse, orang Perancis chevel, orang Indonesia kuda, dan orang Arab hison. Semua kata ini sama tepatnya, sama arbitrernya. Semuanya adalah konvensi social yakni sejenis persetujuan yang tidak diucapkan atau kesepakatan secara diam-diam antara sesama anggota masyarakat yang memberi setiap kata makna tertentu.

d.      Suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer.
Walaupun hubungan antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap suara hati nurani, logika atau psikologi, namun kerja sama antara  bunyi-bunyi itu sendiri, di dalam bahasa tertentu, ditandai oleh sejumlah konsistensi, ketetapan intern. Misalnya saja, setiap bahasa beroperasi dengan sejumlah bunyi dasar yang terbatas (dan ciri-ciri fonetik lainnya seperti tekanan kata dan intonasi).

























BAB III
PENUTUP



3.1  Kesimpulan
Matematika, Statistika dan Bahasa merupakan sarana berpikir ilmiah. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah yang baik perlu ditunjang dengan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Matematika mempunyai peran yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika dan bahasa berperan penting dalam pola berpikir induktif. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya adalah pengumpulan fakta untuk mendukung hipotesis yang kita ajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peran masing-masing sarana berpikir dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut. Dalam tulisan ini secara khusus dibahas mengenai matematika,statistika, dan bahasa sebagai sebagai sarana berpikir ilmiah.

Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mepelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. Dalam hal ini sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan dalam mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah. Atau sederhananya, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jelaslah mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode yang tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu tersendiri.











3.2  Saran
Makalah ini kami tujukan selain sebagai tugas kelompok dari Bpk Drs. Parno, M.Pd , namun makalah ini juga kami tujukan untuk semua kalangan yang membutuhkan informasi. Maka dari itu kami sangat membutuhkan saran-saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah yang jauh dari sempurna ini.
























DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993

Suyudi , Agus . Individual Textbook : Dasar – Dasar Sains, Malang : Jica , 2003


0 komentar:

Kamis, 12 Desember 2013

Alat bantu berpikir ilmiah




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kani sehingga Makalah yang berjudul “Alat Bantu Dalam Ilmu Pengetahuan” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
Tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk melengkapi tugas terstruktur dari mata kuliah Dasar-dasar Sains. Makalah ini memberikan gambaran tentang alat bantu dalam ilmu pengetahuan Dalam penyelesaian makalah ini, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Drs., Parno, M.Si., selaku dosen mata kuliah Dasar-dasar Sains sekaligus sebagai dosen PA.
2.      Kedua orang tua kami yang selalu member dukungan kepada penulis.
3.      Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran kritik dari pembaca sangat diharapkan. Atas saran dan kritikannya, penulis ucapkan terima kasih.


                                                                                                          Penulis,

Malang, 5 November 2013





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...…………………………………………………….….….1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...…..…...2
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………….…….....3
1.1  Latar Belakang ………………………………………………….…......3
1.2  Rumusan Masalah ………………………………………………….… 3
1.3  Tujuan ……………………………………………………………..…. 3
BAB II : PEMBAHASAN …………………………………………………….……4
2.1          Matematika……………………………………………………….…4
1.             Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif…………….….4
2.             Perkembangan Matematika…………………………………....4
3.             Matematika Dan Peradaban……………………………………6
2.2          Statistika……………………………………………..………………7
1.      Sejarah Perkembangan Statistik ………………………..…...……7
2.      Stitistika Sebagai Sarana Berfikir Induktif………………..………7
2.3          Bahasa……………………………………………………….………9
1.      Ciri – Ciri Bahasa Ilmiah…………………………………..……...9
2.      Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Induktif………………………..10
3.      Unsure – unsure Bahasa……………………………………...….10
BAB III : PENUTUP
3.1  Kesimpulan………………………………………………………….…..12
3.2  Saran  …………………………………..………………………….…....13
DAFTAR PUSTAKA …………………………..………………..………………...14



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berpikir merupakan sebuah proses yang menghasilkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan-jalan  pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang  berupa bahasa, matematika, statistika agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan dengan baik ,teratur dan cermat. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan symbol atau perlambang.

Sedangkan matematika sendiri memiliki lambang-lambang matematika bersifat “Artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna yang diberikan kepadanya . Kelebihan Matematika dibandingkan dengan bahasa verbal adalah sifat kuantitatif matematika. Matematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Secara deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Matematika lebih mementingkan logisnya.Pertanyaan-pertanyaan mempunyai sifat yang jelas.

Sedangkan statistik pengujian mengharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata anak yang dimaksud itu merupakan suatu kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif .

1.2  Rumusan masalah

1.      Alat-alat apa saja yang digunakan untuk berpikir ilmiah?
2.      Bagaimana peranan matematika sebagai sarana berfikir deduktif dalam ilmiah?
3.      Bagaimana peranan statistika dan bahasa sebagai sarana berfikir induktif dalam ilmiah?

1.3  Tujuan

1.      Mengetahui alat-alat yang digunakan untuk berpikir secara ilmiah.
2.      Mengetahui peranan matematika sebagai sarana berfikir deduktif.
3.      Mengetahui peranan statistika dan bahasa dan berpikir induktif dalam ilmiah.





BAB II
PEMBAHASAN

           Alat-alat bantu  dalam ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga yaitu matematika, statistika dan bahasa.
2.1  Matematika
           matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Yang merupakan perjanjian khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. 
1.      Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif
Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang keberadaannya telah ditentukan. Secara deduktif matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Dan dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan pengetahuan lainnya yang memperkaya perbenaharaan ilmiah kita.
contoh:
Premis 1: Jika ada 2 garis sejajar, maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar  dengan garis yang ketiga adalah sama.
Premis 2: Jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat
Jadi bila diterapkan dalam berpikir deduktif adalah untuk mengukur jumlah sudut-sudut dalam segitiga.

2.      Perkembangan Matematika
              Ilmu merupakan ilmu pengetahuan yang berdasarkan analisis menarik kesimpulan berdasarkan pola berpikir tertentu. Atau dengan kata lain, ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui logika tertentu. Berasarkan perkembangan maka masalah yang dihadapi oleh logika makin lama makin rumit dan membutuhkan bentuk yang makin sempurna. Dalam perspektif ini maka logika berkembang menjadi matematika, seperti dikatakan Bertrand Russell, “matematika adalah masa dewasa dari logika, sedangkan logika adalah masa kecil dari matematika.
Ditinjau dari perkembanganya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif. Taham pertama ini ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Tahap yang kedua kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan kategori dan seterusnya. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga membutuhkan matematika.
      Matematika adalah metode berpikir logis. (menurut Wittgenstein). pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. dan pada dasarnya adalah pernyataan logika. (menurut Bertrand Russell dan Whitehead). Menurut akal sehat kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif. Di samping sarana berpikir deduktif  yang merupakan aspek esterik. Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik. Menurut Griffits dan Howson sejarah perkembangan matematika dibagi menjadi 4tahap. Yaitu :
  1. Tahap pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban mesir kuno dan daerah sekitarnya seperti Babilonia dan Mesopotamia. Keahlian mereka yang dihargai didalam masyarakat dengan mengaitkan aspek praktis matematika dengan aspek mistik dari keagamaan.
  2. Tahap kedua  peradaban Yunani yang meletakan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapjan berbagai langkah dan definisi terentu.Euclid pada 300SM, semua pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Element dengan penyajian secara sistematis.
  3. Tahap ketiga pada saat perdagangan antara Timur dia Barat berkembang pada Abad pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah dipergunakan dalam transaksi pertukaran.
  4. Tahap keempat pada zaman Renaissance, yang meletakan dasar bagi kemajuan matematika modern selanjutnya. Dan ditemukanlah diantaranya kalkulus diferensial yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke-17 dan revolusi industri di abad ke-18.
Jadi matematika bukankah merupakan pengetahuan mengenai objek tertentu melainkan cara berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Dan kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat.
              Memang pada kehidupan sehari-hari, kebenaran, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan melalui proses penalaran deduktif. Disamping matematika sebagai sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik. Matematika juga memberi kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling ke matematika. Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik dan praktis dari matematika ini silih berganti mendapat perhatian, terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan.

3.      Matematika Dan Peradaban
Matematika sama tuanaya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir kuno telah memounyai simbolyang melembangkan angka-angka. Para pendeta Mesir kuno, ahli matematika yang pertama di dunia , mengukur pasang surut sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir. Sejak semula pengetahuan yang bersifat kuantitatif ini bersifat esoteric, dengan sengaja pendeta  Mesir kuno menyembunyikan kepandaian ini kepada masyarakat kebanyakan untuk mempertahankan kekuasaan masyarakat kebanyakan untuk meramal (secara ilmiah ) timbulnya banjir merupakan kekuatan yang bersifat supranatural bagi orang awam. Rider Haggard dalam bukunya King’s Solomos Mines menceritakan salah satu tema pokok tentang ramalan akan timbulnya gerhana yang bagi suku  primietif di Afrika waktu itu merupakan peristiwa gaib.
Matematika merupakan bahasa artificial yang dikembangakan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Tentu saja untuk menguasai bahasa artificial ini perlukan usaha dalam bentuk kegiatan belejar. Jurang antara mereka yang belajar dan yang tidak (atau enggan) belajar makin lama makin lebar. Matematika makin bersifat esoteric yang jauh dari jangkauan orang awam, magis dan misteriusseperti mantera dan jampi-jampi.
Matematika tidak dapat dilepaskan  dari peradapan manusia. Pendudukan kota yang pertama adalah “makhluk yang berbicara”  (talking animal) yang hidup pada jaringan angka-angka : takaran resep makanan , jadwal kereta api, angka pengangguran, tilang, pajak, rampasan perang, uang lembur , taruhan, curah hujan, cerah matahari, speedometer, indicator bakteri ,meteran gas, suku nbunga bank, ongkos angkutan kapal, tingkat kematian, potongan lotre, panjang gelombang dan tekanan ban. Bagi nilmu itu sendiri matematika berkembang sangat cepat. Tanpa matematika pengetahuan akan berhenti oada tahan kuantitatif yang tidak memungkinkan untuk  meningkatkan penalaran lebih jauh. Sifatnya bagi bidang-bidang keilmuan yang modern, matematika adalah sesuatu yang imperative : suatu sarana untuk meningkatakan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan,apapun juga bidang pengkajianya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif.
Orang dewasa senang sekali dengan angka-angka. Bila kita punya teman baru mereka tidak pernah bertanya tentang bagaimana bunyi suranya? Permaina  apa yang disenangi? Apakah dia mengumpulkan barabg-barang atau suatu tertentu? Sebaliknya mereka akan bertanya berapa usiamu sekarang? Berapa jumlah saudaramu? Berapa penghasilan orang tuamu? . Matematika tanpa disadari memang bukan tujuan dan bukan alat itu sendiri, sebagai pengamatan seorang anak-anak ini.diman biasnaya hal ini disebabkan ketidak tahuanya tentang hakikat matematika. Ilmu menjadi kumpulan-kumpulan angka yang tidak berarti. Namun dipihak lain ketidak tauan tentang hakikat manusia itu sering mengakibatkan suatu bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif. Dimana tanpa mengurangi rasa penghargaan kita kepadapnya,l tetap merupakan bidang keilmuan yang belum tumbuh sempurna.lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif inilah,meminjam perkataan pangeran kecil. Ilmu sampai pada pengetahuan yang dewasa. Analog dengan pernyataan Betrand Russell tentang hubungan antara logika dengan metematika mungkin dapat berkata : “ilmu kualitatif adalah massa kecil cdari ilmu kuantitatif merupakan massa dewasa dari ilmu kualitatif”, dimana ilmu yang sehat seperti kita akan terus tumbuh dewasa.

2.2  Statistika

               Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Atau statistika adalah ilmu yang berusaha untuk mencoba mengolah data untuk mendapatkan manfaat berupa keputusan dalam kehidupan.

1        Sejarah Perkembangan Statistik
Konsep statiska sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu dan salah satunya adalah Thomas Simpson yang menyimpulkan terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variable dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson lebih lanjut dan menemukan distribusi normal sebuah konsep mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata (the standard error of the mean) dikembangkan Karl Friedrich Gauss (1777-1855). Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan konsep regesi, korelasi, distribusi, chi-kuadrat, dan analisis statiska untuk data kualitatif Pearson menulis buku The Grammar of Science sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. William Searly Gosset, yang terkenal dengan nama samaran “Student”, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Di Indonesia, kegiatan dalam hal penelitian juga cukup meningkat, baik kegiatan akademik maupun maupun pengambilan keputusan telah memberikan momentum yang baik untuk pendidikan statistika. Dengan masyarakatnya berpikir secara ilmiah, maka sesuai dengan apa yang dikatakan oleh HLM. G. Welles bahwa setiap hari berpikir statistik akan merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan menulis.

2        Stitistika Sebagai Sarana Berfikir Induktif

            peluang (probabilitas), merupakan dasar teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Teori dalam mengenai kombinasi bilangan telah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan oleh ilmuan muslim, tetapi bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan dengan cepat bidang telaah ini berkembang.

         Statistika yang relatif sangat muda bila dibandingkan dengan matematika, mengalami kemajuan sangat pesat, terutama dalam lima dasawarsa belakangan ini. Penelitian ilmiah baik yang berbentuk survay maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti dengan mempergunakan teknik statistika yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.

Pengujian secara empiris merupakan mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainya. Kalau telah lebih mendalam,maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Kalau hipoteis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentanga dengan kenyataan , maka hipotesis tersebut ditolak.

Penggujian diharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di  pihak lain penyusuan  hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat individual dari pernyataan yang bersifat individual dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan logika deduktif. Kedua penarikan kesimpulan ini tidak sama dan tidak boleh dicampurkan. Logika deduktif berpaling  kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulannya, sedangakan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika mencampurkan pengetahuan untuk penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.









2.3  Bahasa
Ada beberapa pengertian bahasa seperti yang diutarakan oleh:
a.       Ernest Cassirer,  (Jujun dan Amsal Bachtiar), bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol. Secara generik istilah ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo sapiens, sebab dalam kegiatan berfikir manusia mempergunakan symbol
b.      Wittgenstein yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku yaitu dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia baginya
c.       Bloch and Trager mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa “a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates” (bahasa adalah suatu system simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi)
d.      Joseph Broam mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa a language is a structured system of arbitrary vocal symbols by means of which members of social group interact (Bahasa adalah suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain).

Sedangkan dalam KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia), diterakan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jadi bahasa menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.

Dari kutipan pengertian di atas dapat disimpulkan Bahasa adalah suatu sistem dari simbul atau lambang bunyi arbitrer (bermakna) yang dihasilkan oleh alat ucap/ ujaran  manusia dan dipakai oleh masyarakat dan atau oleh para anggota suatu kelompok social untuk melakukan komunikasi yaitu menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi kepada orang lain/ alat bergaul satu sama lain, melakukan kerja sama dan untuk identifikasi diri.

1.      Ciri – Ciri Bahasa Ilmiah
Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan antiseptic.
a.       Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
b.      Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
c.       Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.


2.      Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Induktif
       Sifat Ilmu yang bersifat intersubyektif menimbulkan harapan akan adanya istilah yang dirumuskan sejelas mungkin, yang dapat diterima secara umum dengan saling mengetahui apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Dugaan-dugaan yang dipunyai oleh A hendaknya dapat dikaji oleh B. Dan hasil kajian tersebut, hendaknya dapat dievaluasi baik oleh C maupun oleh A dan B. Cara yang paling tepat untuk menetapkan pemakaian suatu istilah ialah dengan menggunakan definisi eksplisit. Dalam definisi seperti ini ditetapkan suatu istilah atau suatu gabungan istilah dipakai dalam makna tertentu.

Dalam filsafat keilmuan, memikirkan sesuatu membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmiah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Sedangkan untuk Karya ilmiah: tata bahasa, merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.

3.         Unsur Bahasa
Batasan-batasan pengertian di atas memerlukan sedikit penjelasan agar tidak terjadi salah paham. Oleh karena itu, perlu diteliti setiap unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu:
a.       Simbol-simbol
Simbol-simbol berarti things stand for other things atau sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain. Hubungan antara simbol dan “sesuatu” yang dilambangkannya itu tidak merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau sesuatu yang bersifat alamiah, mengandung makna bahwa ucapan si pembicara dihubungkan secara simbolis dengan objek-objek ataupun kejadian dalam dunia praktis.
b.      Simbol-simbol Vokal
Simbol-simbol yang membangun ujaran manusia yaitu bunyi-bunyi yang urutan-urutan bunyinya dihasilkan dari kerja sama berbagai organ atau alat tubuh dengan system pernapasan. Untuk memenuhi maksudnya, bunyi-bunyi tersebut haruslah didengar oleh orang lain dan harus diartikulasikan sedemikian rupa untuk memudahkan si pendengar untuk merasakannya secara jelas dan berbeda dari lainnya.
c.       Simbol-simbol  vokal arbitrer
Istilah arbitrer di sini bermakna “mana suka” dan tidak perlu ada hubungan yang valid secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa. Misalnya, untuk mengatakan jenis binatang yang disebut Equus Caballus, orang Inggris menyebutnya horse, orang Perancis chevel, orang Indonesia kuda, dan orang Arab hison. Semua kata ini sama tepatnya, sama arbitrernya. Semuanya adalah konvensi social yakni sejenis persetujuan yang tidak diucapkan atau kesepakatan secara diam-diam antara sesama anggota masyarakat yang memberi setiap kata makna tertentu.

d.      Suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer.
Walaupun hubungan antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap suara hati nurani, logika atau psikologi, namun kerja sama antara  bunyi-bunyi itu sendiri, di dalam bahasa tertentu, ditandai oleh sejumlah konsistensi, ketetapan intern. Misalnya saja, setiap bahasa beroperasi dengan sejumlah bunyi dasar yang terbatas (dan ciri-ciri fonetik lainnya seperti tekanan kata dan intonasi).

























BAB III
PENUTUP



3.1  Kesimpulan
Matematika, Statistika dan Bahasa merupakan sarana berpikir ilmiah. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah yang baik perlu ditunjang dengan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Matematika mempunyai peran yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika dan bahasa berperan penting dalam pola berpikir induktif. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya adalah pengumpulan fakta untuk mendukung hipotesis yang kita ajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peran masing-masing sarana berpikir dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut. Dalam tulisan ini secara khusus dibahas mengenai matematika,statistika, dan bahasa sebagai sebagai sarana berpikir ilmiah.

Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mepelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. Dalam hal ini sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan dalam mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah. Atau sederhananya, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jelaslah mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode yang tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu tersendiri.











3.2  Saran
Makalah ini kami tujukan selain sebagai tugas kelompok dari Bpk Drs. Parno, M.Pd , namun makalah ini juga kami tujukan untuk semua kalangan yang membutuhkan informasi. Maka dari itu kami sangat membutuhkan saran-saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah yang jauh dari sempurna ini.
























DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993

Suyudi , Agus . Individual Textbook : Dasar – Dasar Sains, Malang : Jica , 2003


Tidak ada komentar:

Posting Komentar