KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kani sehingga Makalah yang
berjudul “Alat Bantu Dalam Ilmu Pengetahuan” ini dapat diselesaikan sesuai
dengan rencana.
Tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk melengkapi tugas
terstruktur dari mata kuliah Dasar-dasar Sains. Makalah ini memberikan gambaran
tentang alat bantu dalam ilmu pengetahuan
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Drs.,
Parno, M.Si., selaku dosen mata kuliah Dasar-dasar Sains sekaligus sebagai
dosen PA.
2.
Kedua orang tua
kami yang selalu member dukungan kepada penulis.
3.
Semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu,
saran kritik dari pembaca sangat diharapkan. Atas saran dan kritikannya,
penulis ucapkan terima kasih.
Penulis,
Malang, 5 November 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...…………………………………………………….….….1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...…..…...2
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………….…….....3
1.1
Latar Belakang
………………………………………………….…......3
1.2
Rumusan Masalah
………………………………………………….… 3
1.3
Tujuan
……………………………………………………………..…. 3
BAB II : PEMBAHASAN …………………………………………………….……4
2.1
Matematika……………………………………………………….…4
1.
Matematika
Sebagai Sarana Berfikir Deduktif…………….….4
2.
Perkembangan
Matematika…………………………………....4
3.
Matematika Dan
Peradaban……………………………………6
2.2
Statistika……………………………………………..………………7
1.
Sejarah Perkembangan
Statistik ………………………..…...……7
2.
Stitistika
Sebagai Sarana Berfikir Induktif………………..………7
2.3
Bahasa……………………………………………………….………9
1.
Ciri – Ciri Bahasa
Ilmiah…………………………………..……...9
2.
Bahasa Sebagai Sarana
Berfikir Induktif………………………..10
3.
Unsure – unsure
Bahasa……………………………………...….10
BAB III : PENUTUP
3.1
Kesimpulan………………………………………………………….…..12
3.2
Saran …………………………………..………………………….…....13
DAFTAR PUSTAKA …………………………..………………..………………...14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berpikir merupakan sebuah proses yang menghasilkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan-jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada
sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa,
matematika, statistika agar dalam kegiatan ilmiah
tersebut dapat berjalan dengan baik ,teratur dan cermat. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, Dan
bunyi itu sendiri haruslah merupakan symbol atau perlambang.
Sedangkan
matematika sendiri memiliki lambang-lambang matematika bersifat “Artifisial”
yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna yang diberikan
kepadanya . Kelebihan Matematika dibandingkan dengan
bahasa verbal adalah sifat kuantitatif matematika. Matematika mengembangkan bahasa
numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran
secara kuantitatif. Secara deduktif,
matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan
premis-premis tertentu. Matematika lebih mementingkan
logisnya.Pertanyaan-pertanyaan mempunyai sifat yang
jelas.
Sedangkan
statistik pengujian mengharuskan untuk menarik kesimpulan yang
bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat
individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa
tinggi rata-rata anak umur 10tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi
rata-rata anak yang dimaksud itu merupakan suatu kesimpulan umum yang
ditarik dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik
kesimpulan berdasarkan logika induktif .
1.2 Rumusan
masalah
1. Alat-alat apa saja yang digunakan untuk berpikir
ilmiah?
2.
Bagaimana peranan matematika sebagai sarana
berfikir deduktif dalam ilmiah?
3. Bagaimana peranan statistika dan bahasa sebagai sarana berfikir
induktif dalam ilmiah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui alat-alat yang digunakan untuk berpikir
secara ilmiah.
2. Mengetahui peranan
matematika sebagai sarana berfikir deduktif.
3. Mengetahui peranan statistika dan bahasa dan berpikir induktif dalam ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
Alat-alat
bantu dalam ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga
yaitu matematika, statistika dan bahasa.
2.1 Matematika
matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat
“artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
Yang merupakan perjanjian khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Tanpa itu
matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
1.
Matematika
Sebagai Sarana Berfikir Deduktif
Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan kepada premis-premis yang keberadaannya telah ditentukan. Secara
deduktif matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis
tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah konsekuensi dari
pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Dan dari
beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan
pengetahuan lainnya yang memperkaya perbenaharaan ilmiah kita.
contoh:
Premis 1: Jika ada 2 garis sejajar, maka
sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar
dengan garis yang ketiga adalah sama.
Premis 2: Jumlah sudut yang dibentuk oleh
sebuah garis lurus adalah 180 derajat
Jadi bila diterapkan dalam berpikir deduktif
adalah untuk mengukur jumlah sudut-sudut dalam segitiga.
2.
Perkembangan
Matematika
Ilmu merupakan ilmu pengetahuan yang
berdasarkan analisis menarik kesimpulan berdasarkan pola berpikir tertentu.
Atau dengan kata lain, ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui logika
tertentu. Berasarkan perkembangan maka masalah yang dihadapi oleh logika makin
lama makin rumit dan membutuhkan bentuk yang makin sempurna. Dalam perspektif
ini maka logika berkembang menjadi matematika, seperti dikatakan Bertrand Russell,
“matematika adalah masa dewasa dari logika, sedangkan logika adalah masa kecil
dari matematika.
Ditinjau dari perkembanganya maka ilmu dapat
dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif.
Taham pertama ini ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam
kategori-kategori tertentu. Tahap yang kedua kita mulai melakukan perbandingan
antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan
kategori dan seterusnya. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif dimana kita
mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan
berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa
verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang
ketiga membutuhkan matematika.
Matematika adalah metode berpikir logis.
(menurut Wittgenstein). pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang
disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. dan pada dasarnya adalah
pernyataan logika. (menurut Bertrand Russell dan Whitehead). Menurut akal sehat
kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan
kepada proses penalaran deduktif. Di samping sarana berpikir deduktif
yang merupakan aspek esterik. Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik.
Menurut Griffits dan Howson sejarah perkembangan matematika dibagi menjadi
4tahap. Yaitu :
- Tahap pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban mesir kuno dan daerah sekitarnya seperti Babilonia dan Mesopotamia. Keahlian mereka yang dihargai didalam masyarakat dengan mengaitkan aspek praktis matematika dengan aspek mistik dari keagamaan.
- Tahap kedua peradaban Yunani yang meletakan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapjan berbagai langkah dan definisi terentu.Euclid pada 300SM, semua pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Element dengan penyajian secara sistematis.
- Tahap ketiga pada saat perdagangan antara Timur dia Barat berkembang pada Abad pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah dipergunakan dalam transaksi pertukaran.
- Tahap keempat pada zaman Renaissance, yang meletakan dasar bagi kemajuan matematika modern selanjutnya. Dan ditemukanlah diantaranya kalkulus diferensial yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke-17 dan revolusi industri di abad ke-18.
Jadi matematika bukankah merupakan pengetahuan
mengenai objek tertentu melainkan cara berfikir untuk mendapatkan pengetahuan
tersebut. Dan kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai
postulat.
Memang pada kehidupan sehari-hari, kebenaran, kebenaran matematika tidak
ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan melalui proses penalaran
deduktif. Disamping matematika sebagai sarana berpikir deduktif yang merupakan
aspek estetik. Matematika juga memberi kegunaan praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Semua masalah yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti
mau tidak mau harus berpaling ke matematika. Dalam perkembangannya maka kedua
aspek estetik dan praktis dari matematika ini silih berganti mendapat
perhatian, terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan.
3.
Matematika Dan
Peradaban
Matematika sama tuanaya dengan peradaban manusia itu sendiri.
Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir kuno telah memounyai simbolyang melembangkan
angka-angka. Para pendeta Mesir kuno, ahli matematika yang pertama di dunia ,
mengukur pasang surut sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir. Sejak semula
pengetahuan yang bersifat kuantitatif ini bersifat esoteric, dengan sengaja
pendeta Mesir kuno menyembunyikan
kepandaian ini kepada masyarakat kebanyakan untuk mempertahankan kekuasaan
masyarakat kebanyakan untuk meramal (secara ilmiah ) timbulnya banjir merupakan
kekuatan yang bersifat supranatural bagi orang awam. Rider Haggard dalam
bukunya King’s Solomos Mines menceritakan salah satu tema pokok tentang ramalan
akan timbulnya gerhana yang bagi suku
primietif di Afrika waktu itu merupakan peristiwa gaib.
Matematika merupakan bahasa artificial yang dikembangakan untuk
menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Tentu saja untuk
menguasai bahasa artificial ini perlukan usaha dalam bentuk kegiatan belejar.
Jurang antara mereka yang belajar dan yang tidak (atau enggan) belajar makin
lama makin lebar. Matematika makin bersifat esoteric yang jauh dari jangkauan
orang awam, magis dan misteriusseperti mantera dan jampi-jampi.
Matematika tidak dapat dilepaskan
dari peradapan manusia. Pendudukan kota yang pertama adalah “makhluk
yang berbicara” (talking animal) yang
hidup pada jaringan angka-angka : takaran resep makanan , jadwal kereta api,
angka pengangguran, tilang, pajak, rampasan perang, uang lembur , taruhan,
curah hujan, cerah matahari, speedometer, indicator bakteri ,meteran gas, suku
nbunga bank, ongkos angkutan kapal, tingkat kematian, potongan lotre, panjang
gelombang dan tekanan ban. Bagi nilmu itu sendiri matematika berkembang sangat
cepat. Tanpa matematika pengetahuan akan berhenti oada tahan kuantitatif yang
tidak memungkinkan untuk meningkatkan
penalaran lebih jauh. Sifatnya bagi bidang-bidang keilmuan yang modern,
matematika adalah sesuatu yang imperative : suatu sarana untuk meningkatakan
kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan,apapun juga bidang
pengkajianya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat
kuantitatif.
Orang dewasa senang sekali dengan angka-angka. Bila kita punya
teman baru mereka tidak pernah bertanya tentang bagaimana bunyi suranya?
Permaina apa yang disenangi? Apakah dia
mengumpulkan barabg-barang atau suatu tertentu? Sebaliknya mereka akan bertanya
berapa usiamu sekarang? Berapa jumlah saudaramu? Berapa penghasilan orang
tuamu? . Matematika tanpa disadari memang bukan tujuan dan bukan alat itu
sendiri, sebagai pengamatan seorang anak-anak ini.diman biasnaya hal ini
disebabkan ketidak tahuanya tentang hakikat matematika. Ilmu menjadi
kumpulan-kumpulan angka yang tidak berarti. Namun dipihak lain ketidak tauan
tentang hakikat manusia itu sering mengakibatkan suatu bidang keilmuan terpaku
pada tahap kualitatif. Dimana tanpa mengurangi rasa penghargaan kita
kepadapnya,l tetap merupakan bidang keilmuan yang belum tumbuh sempurna.lewat
pengkajian kualitatif dan kuantitatif inilah,meminjam perkataan pangeran kecil.
Ilmu sampai pada pengetahuan yang dewasa. Analog dengan pernyataan Betrand Russell
tentang hubungan antara logika dengan metematika mungkin dapat berkata : “ilmu
kualitatif adalah massa kecil cdari ilmu kuantitatif merupakan massa dewasa
dari ilmu kualitatif”, dimana ilmu yang sehat seperti kita akan terus tumbuh
dewasa.
2.2 Statistika
Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan,
mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data.
Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Atau statistika
adalah ilmu yang berusaha untuk mencoba mengolah data untuk mendapatkan manfaat
berupa keputusan dalam kehidupan.
1
Sejarah
Perkembangan Statistik
Konsep statiska sering dikaitkan dengan distribusi
variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu dan salah satunya adalah Thomas
Simpson yang menyimpulkan terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut
(continuous distribution) dari suatu variable dalam suatu frekuensi yang cukup
banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan
Simpson lebih lanjut dan menemukan distribusi normal sebuah konsep mungkin
paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping
teori peluang. Teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat
baku untuk rata-rata (the standard error of the mean) dikembangkan Karl
Friedrich Gauss (1777-1855). Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan
mengembangkan konsep regesi, korelasi, distribusi, chi-kuadrat, dan analisis
statiska untuk data kualitatif Pearson menulis buku The Grammar of Science
sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. William Searly Gosset, yang terkenal
dengan nama samaran “Student”, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh.
Di Indonesia, kegiatan dalam hal penelitian juga cukup meningkat, baik kegiatan
akademik maupun maupun pengambilan keputusan telah memberikan momentum yang
baik untuk pendidikan statistika. Dengan masyarakatnya berpikir secara ilmiah,
maka sesuai dengan apa yang dikatakan oleh HLM. G. Welles bahwa setiap hari
berpikir statistik akan merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca
dan menulis.
2
Stitistika
Sebagai Sarana Berfikir Induktif
peluang (probabilitas),
merupakan dasar teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal
dalam pemikiran Yunani kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Teori
dalam mengenai kombinasi bilangan telah terdapat dalam aljabar yang
dikembangkan oleh ilmuan muslim, tetapi bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan dengan cepat bidang telaah ini
berkembang.
Statistika yang relatif
sangat muda bila dibandingkan dengan matematika, mengalami kemajuan sangat
pesat, terutama dalam lima dasawarsa belakangan ini. Penelitian ilmiah baik
yang berbentuk survay maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan
teliti dengan mempergunakan teknik statistika yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan.
Pengujian secara empiris merupakan mata rantai dalam
metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainya. Kalau telah lebih mendalam,maka pengujian merupakan suatu proses
pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Kalau hipoteis
itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis diterima atau
disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentanga dengan
kenyataan , maka hipotesis tersebut ditolak.
Penggujian diharuskan
untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat
individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10
tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah
kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat
itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Di pihak lain penyusuan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang
bersifat individual dari pernyataan yang bersifat individual dari pernyataan
yang bersifat umum dengan mempergunakan logika deduktif. Kedua penarikan
kesimpulan ini tidak sama dan tidak boleh dicampurkan. Logika deduktif
berpaling kepada matematika sebagai
sarana penalaran penarikan kesimpulannya, sedangakan logika induktif berpaling
kepada statistika. Statistika mencampurkan pengetahuan untuk penarikan
kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan
secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya
kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di
Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada
kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi
badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini
tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata
anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan
tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori
dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara
untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya
sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10
tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang
berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.
2.3 Bahasa
Ada beberapa pengertian bahasa seperti yang diutarakan oleh:
a. Ernest Cassirer, (Jujun dan Amsal Bachtiar), bahwa keunikan
manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada
kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal
Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol. Secara generik istilah
ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo sapiens, sebab
dalam kegiatan berfikir manusia mempergunakan symbol
b. Wittgenstein yang menyatakan:
“batas bahasaku adalah batas duniaku yaitu dengan kemampuan kebahasaan akan
terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia baginya
c. Bloch and Trager mengatakan,
sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa “a language is a system
of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates”
(bahasa adalah suatu system simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan
oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi)
d. Joseph Broam mengatakan sebagaimana
yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, bahwa a language is a structured system of
arbitrary vocal symbols by means of which members of social group interact (Bahasa
adalah suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang
dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok social sebagai alat bergaul
satu sama lain).
Sedangkan dalam
KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia), diterakan bahwa bahasa ialah sistem lambang
bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jadi bahasa
menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.
Dari kutipan pengertian di atas dapat disimpulkan Bahasa adalah suatu
sistem dari simbul atau lambang bunyi arbitrer (bermakna) yang dihasilkan oleh
alat ucap/ ujaran manusia dan dipakai
oleh masyarakat dan atau oleh para anggota suatu kelompok social untuk
melakukan komunikasi yaitu menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi kepada
orang lain/ alat bergaul satu sama lain, melakukan kerja sama dan untuk
identifikasi diri.
1. Ciri – Ciri Bahasa Ilmiah
Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri
tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan antiseptic.
a.
Informatif
berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi
atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari
kesalahpahaman.
b.
Reproduktif
adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan
informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
c. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif
dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini
sulit dilepaskan dari unsur informatif.
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.
2. Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Induktif
Sifat Ilmu
yang bersifat intersubyektif menimbulkan harapan akan adanya istilah yang
dirumuskan sejelas mungkin, yang dapat diterima secara umum dengan saling
mengetahui apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Dugaan-dugaan yang dipunyai
oleh A hendaknya dapat dikaji oleh B. Dan hasil kajian tersebut, hendaknya
dapat dievaluasi baik oleh C maupun oleh A dan B. Cara yang paling tepat untuk
menetapkan pemakaian suatu istilah ialah dengan menggunakan definisi eksplisit.
Dalam definisi seperti ini ditetapkan suatu istilah atau suatu gabungan istilah
dipakai dalam makna tertentu.
Dalam filsafat keilmuan, memikirkan sesuatu membuat manusia berpikir terus
menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi
ilmiah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Sedangkan untuk Karya ilmiah: tata bahasa, merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Sedangkan untuk Karya ilmiah: tata bahasa, merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.
3.
Unsur Bahasa
Batasan-batasan pengertian di atas
memerlukan sedikit penjelasan agar tidak terjadi salah paham. Oleh karena itu,
perlu diteliti setiap unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu:
a.
Simbol-simbol
Simbol-simbol
berarti things stand for other things atau sesuatu yang menyatakan
sesuatu yang lain. Hubungan antara simbol dan “sesuatu” yang dilambangkannya
itu tidak merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau sesuatu yang
bersifat alamiah, mengandung makna bahwa ucapan si pembicara dihubungkan secara
simbolis dengan objek-objek ataupun kejadian dalam dunia praktis.
b.
Simbol-simbol
Vokal
Simbol-simbol
yang membangun ujaran manusia yaitu bunyi-bunyi yang urutan-urutan bunyinya
dihasilkan dari kerja sama berbagai organ atau alat tubuh dengan system
pernapasan. Untuk memenuhi maksudnya, bunyi-bunyi tersebut haruslah didengar
oleh orang lain dan harus diartikulasikan sedemikian rupa untuk memudahkan si
pendengar untuk merasakannya secara jelas dan berbeda dari lainnya.
c. Simbol-simbol
vokal arbitrer
Istilah
arbitrer di sini bermakna “mana suka” dan tidak perlu ada hubungan yang valid
secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan
lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa. Misalnya, untuk
mengatakan jenis binatang yang disebut Equus Caballus, orang Inggris
menyebutnya horse, orang Perancis chevel, orang Indonesia kuda,
dan orang Arab hison. Semua kata ini sama tepatnya, sama arbitrernya.
Semuanya adalah konvensi social yakni sejenis persetujuan yang tidak diucapkan
atau kesepakatan secara diam-diam antara sesama anggota masyarakat yang memberi
setiap kata makna tertentu.
d.
Suatu system
yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer.
Walaupun
hubungan antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap suara hati nurani,
logika atau psikologi, namun kerja sama antara
bunyi-bunyi itu sendiri, di dalam bahasa tertentu, ditandai oleh
sejumlah konsistensi, ketetapan intern. Misalnya saja, setiap bahasa beroperasi
dengan sejumlah bunyi dasar yang terbatas (dan ciri-ciri fonetik lainnya
seperti tekanan kata dan intonasi).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Matematika, Statistika dan Bahasa merupakan sarana
berpikir ilmiah. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah yang baik perlu
ditunjang dengan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, logika, matematika, dan
statistika. Matematika mempunyai peran yang penting dalam berpikir deduktif,
sedangkan statistika dan bahasa berperan penting dalam pola berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode
penelitian ilmiah yang pada hakikatnya adalah pengumpulan fakta untuk mendukung
hipotesis yang kita ajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung
oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke
arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peran masing-masing sarana berpikir
dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut. Dalam tulisan ini secara
khusus dibahas mengenai
matematika,statistika, dan bahasa sebagai sebagai sarana berpikir ilmiah.
Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah
untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan
tujuan mepelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang yang
memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. Dalam hal ini
sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan dalam
mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah. Atau
sederhananya, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam
melakukan fungsinya secara baik. Jelaslah mengapa sarana berpikir ilmiah
mempunyai metode yang tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam
mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses
metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu tersendiri.
3.2 Saran
Makalah ini kami tujukan selain sebagai tugas kelompok
dari Bpk Drs. Parno, M.Pd , namun makalah ini juga kami tujukan untuk semua
kalangan yang membutuhkan informasi. Maka dari itu kami sangat membutuhkan
saran-saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah yang jauh dari
sempurna ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1993
Suyudi , Agus . Individual
Textbook : Dasar – Dasar Sains, Malang : Jica , 2003
0 komentar:
Posting Komentar